BAB I
PENDAHULUAN
Suksesnya pendidikan di
Indonesia tentunya tidak pernah lepas dari peran para Ulama’. Sekian banyak
ulama’ yang ada di Indonesia baik yang dikenal maupun yang tidak tentunya
banyak pelajaran dan hikmah yang dapat kita ambil. Seiring berjalannya waktu,
para ulama’ yang telah berjasa di Indonesia banyak yang terlupakan, bahkan
mereka ajaran dan peran sertanya banyak yang diabaikan. Oleh karena itu, kita
sebagai mahasiswa tak sepatutnya melupakan jasa-jasa mereka. Bahkan kita harus
lebih giat lagi dalam meneruskan visi dan misi mereka. Dalam makalah kali ini
kita akan mencoba untuk sedikit memaparkan biografi dan peran serta mereka
dalam merentaskan Indonesia dari kebodohan.
Kami sebagai pemakalah
menyadari bawa makalah kami jauh daripada kesempurnaan. Tapi, tak sepatutnya
kita mengalah pada ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, marilah kita coba untuk
merubah ketidaksempurnaan menjadi sempurna. Dan kami sebagai pemakalah juga
mohon kritik dan saran yang membangun demi tercapanya kesempurnaan itu.
Walaupun kesempurnaan itu hanyalah milik-Nya.
BAB
II
TOKOH
DAN PERAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
1.
K.H.
Ahmad Dahlan
A.
Riwayat
Hidup KH. Ahmad Dahlan
Ahmad
Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1898 dan meninggal pada tanggal
25 Pebruari 1923. Ia berangkat dari keluarga diktatis dan terkenal alim dalam
ilmu agama. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar
kraton Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Aminah, putri KH. Ibrahim yang
pernah menjabat sebagai penghulu di kraton Yogyakarta.[1]
Pada usia
yang masih muda, ia membuat heboh dengan membuat tanda shaf dalam masjid agung
denan memakai kapur. Tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang
benar dalam masjid. Menurut dia letak masjid yang tepat menghadap barat keliru,
sebab letak kota Mekkah berada disebelah barat agak ke utara dari Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian yang sederhana Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa
kiblat di masjid agung itu kurang benar, dan oleh karena itu harus dibetulkan.
Penghulu kepala yang bertugas menjaga masjid Agung dengan cepat menyuruh orang
membersihkan lantai masjid dan tanda shaf yang ditulis dengan benar.[2]
KH. Ahmad
Dahlan memperdalam ilmu agamanya kepada para ulma’ timur tengah. Beliau
memperdalam ilmu fiqih kepada kiai Mahfudz Termas, ilmu hadits kepada Mufti
Syafi’i, ilmu falaq kepada kiai Asy’ari Bacean. Beliau juga sempat mengadakan
dialog dengan para ulama nusantara seperti kiai Nawawi Banten dan kiai Khatib
dari Minangkabau yang dialog ini pada akhirnya banyak mengalami dan
mendorongnya untuk melakukan reformasi di Indonesia adalah dialognya dengan
syeikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang tokoh modernis dari Mesir.
Dengan
kedalaman ilmu agama dan ketekunannya dalam mengikuti gagasan-gagasan
pembaharuan islam, KH. Ahmad Dahlan kemudian aktif menyebarkan gagasan
pembaharuan islam ke pelosok-pelosok tanah air sambil berdagang batik. KH.
Ahmad Dahlan melakukan tabliah dan diskusi keagamaan sehingga atas desakan para
muridnya pada tanggal 18 November 1912 KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
Muhammadiyah. Disamping aktif di Muhammadiyah beliau juga aktif di partai
politik. Seperti Budi Utomo da Sarikat Islam. Hampir seluruh hidupnya digunakan
utnuk beramal demi kemajuan umat islam dan bangsa. KH. Ahmad Dalhlan meninggal
pada tanggal 7 Rajab 1340 H atau 23 Pebruari 1923 M dan dimakamkan di Karang
Kadjen, Kemantren, Mergangsan, Yogyakarta.
B. Pemikiran
Pendidikan KH. Ahmad Dahlan
Menurut
KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola
berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui
pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam
proses pembangunan umat.[3]
Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep pendidikan KH. Ahmad
Dahlan ini meliputi :
1. Tujuan Pendidikan
Menurut
KH. Ahmad Dahlan, pendidikan islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk
manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan
paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan
masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan
pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren
dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya
bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mengalami ilmu agama.
Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang
didalamnya tidak diajarkan agma sama sekali. Akibat dialisme pendidikan
tersebut lahirlah dua kutub intelegensia : lulusan pesantren yang menguasai
agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu
umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat
ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang
sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu
umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan
kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan
hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan
mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di
Madrasah Muhammadiyah.
2. Materi pendidikan
Berangkat
dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum
atau materi pendidikan hendaknya meliputi:[4]
a. Pendidikan moral, akhalq yaitu sebagai usaha
menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha
untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara
perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara
dunia dengan akhirat.
c. Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha
untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
3. Model Mengajar
Di dalam
menyampaikan pelajaran agama KH. Ahma dahlan tidak menggunakan pendekatan yang
tekstual tetapi konekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan
atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan
kondisi.
a.
Cara
belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogal, madrasah
Muhammadiyah menggunakan sistem masihal seperti sekolah Belanda.
b.
Bahan
pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah
Muhammadiyah bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
c.
Hubungan
guru-murid. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena
para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah
Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.
2. K.H.
Hasyim Asy’ari
B. Riwayat
Hidup K.H. Hasyim Asy’ari
Nama lengkap K. H.
Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di
Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24
Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871. Asal-usul
dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan
Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Silsilah keturunannya, sebagaimana
diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang
tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan
bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya
dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).
Menurut penuturan
ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia
masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari
umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit
ke dalam kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan
kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya
yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru
pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang
lebih tua dari umurnya sendiri. Bakat kepemimpinan Kiyai Hasyim sudah tampak
sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim
kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan
permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena
sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.
Semasa hidupnya, ia
mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang
ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah
menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi
Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo,
ternyata K.H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya.
Ia berguru kepada K.H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai
Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam
perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya,
Khadijah.
Tepat pada usia 21
tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H.
Ya’kub tersebut. Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera
melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K. H. Hasyim
Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong
oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya
jika belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim
Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh
Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim. Disaat
K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan
di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama
sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak
mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu.
K. H. Hasyim Asy’ari
semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid
Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid
Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi.
Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani. Ia tinggal di Mekkah
selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang
ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam
waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa.
Tanggal 31 Januari
1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari
mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun
berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin
besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan
dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. K. H. Hasyim Asy’ari
dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan
Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang
penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia
dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda
dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh
Presiden RI. Pada tahun 1926 K. H. Hasyim Asy’ari mendirikan partai Nahdatul
Ulama (NU). Sejak didirikan sampai tahun 1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat
oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Ia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan
Agama pada zaman pendudukan Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura. K. H. Hasyim
Asy’ari wafat pada tahun 1947 di Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh
waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan pendidikan.
B.
Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari Dalam
Bidang Pendidikan.
Hasyim Asy’ari yang
dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren, serta banyak menuntut
ilmu dan berkecimpung secara langsung di dalamnya, di lingkungan pendidikan
agama Islam khususnya. Dan semua yang dialami dan dirasakan beliau selama itu
menjadi pengalaman dan mempengaruhi pola pikir dan pandangannya dalam
masalah-masalah pendidikan. Salah satu karya monumental Hasyim Asy’ari yang
berbicara tentang pendidikan adalah kitabnya yang berjudul Adab al Alim wa al
Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wama Yataqaff al
Mu’allim fi Maqamat Ta’limih, namun dalam penulisan ini kami tidak menemukakan
kitab aslinya dan akhirnya banyak mengambil dari tulisan Samsul Nizar dalam
bukunya Filsafat Pendidikan Islam, dan buku-buku yang lain sebagai penunjang.
Pembahasan terhadap
masalah pendidikan lebih beliau tekankan pada masalah etika dalam pendidikan,
meski tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya.Di antara pemikiran
beliau dalam masalah pendidikan adalah:
1.
Signifikansi
Pendidikan
Beliau menyebutkan
bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar
ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak.
Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama,
bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali
berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya.
Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih
dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal
tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf),
yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut
beliau adalah “niat yang baik dan lurus”. Belajar menurut Hasyim Asy’ari
merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan
untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk
sekedar menghilangkan kebodohan.
Pendidikan hendaknya
mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia
dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan
nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan
penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain,
umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.
2. Tugas
dan Tanggung Jawab Murid.
a) Etika yang harus diperhatikan dalam belajar.
§ Membersihkan
hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniaan.
§ Membersihkan
niat, tidak menunda-nunda kesempatan belajar, bersabar dan qanaah
§ Pandai
mengatur waktu.
§ Menyederhanakan
makan dan minum.
§ Berhati-hati
(wara’).
§ Menghindari
kemalasan.
§ Menyedikitkan
waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan.
§ Meninggalkan
hal-hal yang kurang berfaedah.
Dalam hal ini
terlihat, bahwa Hasyim Asy’ari lebih menekankan kepada pendidikan ruhani atau
pendidikan jiwa, meski demikian pendidikan jasmani tetap diperhatikan,
khususnya bagaimana mengatur makan, minum, tidur dan sebagainya. Makan dan
minum tidak perlu terlalu banyak dan sederhana, seperti anjuran Rasulullah
Muhammad saw. Serta jangan banyak tidur, dan jangan suka bermalas-malasan.
Banyakkan waktu untuk belajar dan menuntut ilmu pengetahuan, isi hari-hari dan
waktu yang ada dengan hal-hal yang bermanfaat.
b) Etika seorang murid terhadap guru.
§ Hendaknya
selalu memperhatikan dan mendengarkan guru.
§ Memilih
guru yang wara’.
§ Mengikuti
jejak guru.
§ Memuliakan
dan memperhatikan hak guru
§ Bersabar
terdapat kekerasan guru
§ Berkunjung
pada guru pada tempatnya dan minta izin lebih dulu
§ Duduk
dengan rapi bila berhadapan dengan guru
§ Berbicara
dengan sopan dan lembut dengan guru
§ Dengarkan
segala fatwa guru dan jangan menyela pembicaraannya
Gunakan anggota
kanan bila menyerahkan sesuatu pada guru.
Etika seperti tersebut di atas, masih banyak dijumpai pada pendidikan pesantren sekarang ini, akan tetapi etika seperti itu sangat langka di tengah budaya kosmopolit. Di tengah-tengah pergaulan sekarang, guru dipandang sebagai teman biasa oleh murid-murid, dan tidak malu-malu mereka berbicara lebih nyaring dari gurunya. Terlihat pula pemikiran yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari lebih maju. Hal ini, misalnya terlihat dalam memilih guru hendaknya yang profesional, memperhatikan hak-hak guru, dan sebagainya.
Etika seperti tersebut di atas, masih banyak dijumpai pada pendidikan pesantren sekarang ini, akan tetapi etika seperti itu sangat langka di tengah budaya kosmopolit. Di tengah-tengah pergaulan sekarang, guru dipandang sebagai teman biasa oleh murid-murid, dan tidak malu-malu mereka berbicara lebih nyaring dari gurunya. Terlihat pula pemikiran yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari lebih maju. Hal ini, misalnya terlihat dalam memilih guru hendaknya yang profesional, memperhatikan hak-hak guru, dan sebagainya.
c) Etika murid terhadap pelajaran
§ Memperhatikan
ilmu yang bersifat fardhu ‘ain
§ Berhati-hati
dalam menanggapi ikhtilaf para ulama
§ Mendiskusikan
dan menyetorkan hasil belajar pada orang yang dipercaya
§ Senantiasa
menganalisa dan menyimak ilmu
§ Bila
terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaknya ditanyakan
§ Pancangkan
cita-cita yang tinggi
§ Kemanapun
pergi dan dimanapun berada jangan lupa membawa catatan
§ Pelajari
pelajaran yang telah dipelajari dengan continue (istiqamah)
§ Tanamkan
rasa antusias dalam belajar.
Penjelasan
tersebut di atas seakan memperlihatkan akan sistem pendidikan di pesantren yang
selama ini terlihat kolot, hanya terjadi komunikasi satu arah, guru
satu-satunya sumber pengajaran, dan murid hanya sebagai obyek yang hanya berhak
duduk, dengar, catat dan hafal (DDCH) apa yang dikatakan guru. Namun pemikiran
yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari lebih terbuka, inovatif dan progresif.
Beliau memberikan kesempatan para santri untuk mengambil dan mengikuti pendapat
para ulama, tapi harus hati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama. Hal
tersebut senada dengan pemikiran beliau tentang masalah fiqh, beliau meminta
umat Islam untuk berhati-hati pada mereka yang mengklaim mampu menjalankan
ijtihad, yaitu kaum modernis, yang mengemukakan pendapat mereka tanpa memiliki
persayaratan yang cukup untuk berijtihad itu hanya berdasarkan pertimbangan
pikiran semata. Beliau percaya taqlid itu diperbolehkan bagi sebagian umat
Islam, dan tidak boleh hanya ditujukan pada mereka yang mampu melakukan
ijtihad.
3.
Tugas
Dan Tanggung Jawab Guru
a)
Etika
seorang guru
§ Senantiasa
mendekatkan diri pada Allah
§ Takut
pada Allah, tawadhu’, zuhud dan khusu’
§ Bersikap
tenang dan senantiasa berhati-hati
§ Mengadukan
segala persoalan pada Allah
§ Tidak
menggunakan ilmunya untuk meraih dunia
§ Tidak
selalu memanjakan anak
§ Menghindari
tempat-tempat yang kotor dan maksiat
§ Mengamalkan
sunnah Nabi
§ Mengistiqamahkan
membaca al- Qur’an
§ Bersikap
ramah, ceria dan suka menabur salam
§ Menumbuhkan
semangat untuk menambah ilmu
§ Membiasakan
diri menulis, mengarang dan meringkas.
Catatan
yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang
ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika atau statement yang terakhir,
dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya
jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab
hasil karangan atau tulisan beliau. Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari
dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan
pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik zaman
sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen
di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar membiasakan diri untuk menulis.
b)
Etika
guru dalam mengajar
§ Jangan
mengajarkan hal-hal yang syubhat
§ Mensucikan
diri, berpakaian sopan dan memakai wewangian
§ Berniat
beribadah ketika mengajar, dan memulainya dengan do’a
§ Biasakan
membaca untuk menambah ilmu
§ Menjauhkan
diri dari bersenda gurau dan banyak tertawa
§ Jangan
sekali-kali mengajar dalam keadaan lapar, mengantuk atau marah
§ Usahakan
tampilan ramah, lemah lembut, dan tidak sombong
§ Mendahulukan
materi-materi yang penting dan sesuai dengan profesional yang dimiliki
§ Menasihati
dan menegur dengan baik jika anak didik bandel
§ Bersikap
terbuka terhadap berbagai persoalan yang ditemukan
§ Memberikan
kesempatan pada anak didik yang datangnya terlambat dan ulangilah penjelasannya
agar tahu apa yang dimaksudkan
§ Beri
anak kesempatan bertanya terhadap hal-hal yang belum dipahaminya.
Terlihat bahwa apa yang ditawarkan Hasyim Asy’ari lebih bersifat pragmatis, artinya, apa yang ditawarkan beliau berangkat dari praktik yang selama ini dialaminya. Inilah yang memberikan nilai tambah dalam konsep yang dikemukakan oleh Bapak santri ini.
Terlihat bahwa apa yang ditawarkan Hasyim Asy’ari lebih bersifat pragmatis, artinya, apa yang ditawarkan beliau berangkat dari praktik yang selama ini dialaminya. Inilah yang memberikan nilai tambah dalam konsep yang dikemukakan oleh Bapak santri ini.
Terlihat
juga betapa beliau sangat memperhatikan sifat dan sikap serta penampilan
seorang guru. Berpenampilan yang terpuji, bukan saja dengan keramahantamahan,
tetapi juga dengan berpakaian yang rapi dan memakai minyak wangi. Agaknya
pemikiran Hasyim Asy’ari juga sangat maju dibandingkan zamannya, ia menawarkan
agar guru bersikap terbuka, dan memandang murid sebagai subyek pengajaran bukan
hanya sebagai obyek, dengan memberi kesempatan kepada murid-murid bertanya dan
menyampaikan berbagai persoalan di hadapan guru.
c)
Etika
guru bersama murid
§ Berniat
mendidik dan menyebarkan ilmu
§ Menghindari
ketidak ikhlasan
§ Mempergunakan
metode yang mudah dipahami anak
§ Memperhatikan
kemampuan anak didik
§ Tidak
memunculkan salah satu peserta didik dan menafikan yang lain
§ Bersikap
terbuka, lapang dada, arif dan tawadhu’
§ Membantu
memecahkan masalah-masalah anak didik
§ Bila
ada anak yang berhalangan hendaknya mencari ihwalnya.
Kalau
sebelumnya terlihat warna tasawufnya, khususnya ketika membahas tentang tugas
dan tanggung jawab seorang pendidik. Namun kali ini gagasan-gagasan yang
dilontarkan beliau berkaitan dengan etika guru bersama murid menunjukkan
keprofesionalnya dalam pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari rangkuman gagasan
yang dilontarkannya tentang kompetensi seorang pendidik, yang utamanya kompetensi
profesional. Hasyim Asy’ari sangat menganjurkan agar seorang pendidik atau guru
perlu memiliki kemampuan dalam mengembangkan metode dan memberi motivasi serta
latihan-latihan yang bersifat membantu murid-muridnya memahami pelajaran.
Selain itu, guru juga harus memahami murid-muridnya secara psikologi, mampu
memahami muridnya secara individual dan memecahkan persoalan yang dihadapi
murid, mengarahkan murid pada minat yang lebih dicendrungi, serta guru harus
bersikap arif.
Jelas
pada saat Hasyim Asy’ari melontarkan pemikiran ini, ilmu pendidikan maupun ilmu
psikologi pendidikan yang sekarang beredar dan dikaji secara luas belum
tersebar, apalagi di kalangan pesantren. Sehingga ke-genuin-an pemikiran beliau
patut untuk dikembangkan selaras dengan kemajuan dunia pendidikan.
d). Etika
Terhadap Buku, Alat Pelajaran dan Hal-hal Lain Yang Berkaitan Dengannya.
Satu hal yang
menarik dan terlihat beda dengan materi-materi yang biasa disampaikan dalam
ilmu pendidikan umumnya, adalah etika terhadap buku dan alat-alat pendidikan.
Kalaupun ada etika untuk itu, namun biasanya hanya bersifat kasuistik dan
seringkali tidak tertulis, dan seringkali juga hanya dianggap sebagai aturan
yang umum berlaku dan cukup diketahui oleh masing-masing individu. Akan tetapi
bagi Hasyim Asy’ari memandang bahwa etika tersebut penting dan perlu
diperhatikan.Di antara etika tersebut adalah:
§ Menganjurkan
untuk mengusahakan agar memiliki buku
§ Merelakan
dan mengijinkan bila ada kawan meminjam buku pelajaran, sebaliknya bagi peminjam
menjaga barang pinjamannya
§ Memeriksa
dahulu bila membeli dan meminjamnya
§ Bila
menyalin buku syari’ah hendaknya bersuci dan mengawalnya dengan basmalah, sedangkan
bila ilmu retorika atau semacamnya, maka mulailah dengan hamdalah dan shalawat
Nabi.
Kembali tampak
kejelian dan ketelitian beliau dalam melihat permasalahan dan seluk beluk
proses belajar mengajar. Etika khusus yang diterapkan untuk mengawali suatu
proses belajar adalah etika terhadap buku yang dijadikan sumber rujukan,
apalagi kitab-kitab yang digunakan adalah kitab “kuning” yang mempunyai
keistimewaan atau kelebihan tersendiri. Agaknya beliau memakai dasar
epistemologis, ilmu adalah Nur Allah, maka bila hendak mempelajarinya orang
harus beretika, bersih dan sucikan jiwa. Dengan demikian ilmu yang dipelajari
diharapkan bermanfaat dan membawa berkah. Pemikiran seperti yang dituangkan
oleh Hasyim Asy’ari itu patut untuk menjadi perhatian pada masa sekarang ini,
apakah itu kitab “kuning” atau tidak, misalnya kitab “kuning” yang sudah
diterjemahkan, atau buku-buku sekarang yang dianggap sebagai barang biasa,
kaprah dan ada di mana-mana. Namun untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat
dalam belajar etika semacam di atas perlu diterapkan dan mendapat perhatian.
Demikian
sebagian dari pemikiran mengenai pendidikan yang dikemukan oleh Hasyim Asy’ari.
Kelihatannya pemikiran tentang pendidikan ini sejalan dengan apa yang
sebelumnya telah dikemukakan oleh Imam Ghazali, misalnya saja, Hasyim Asy’ari
mengemukakan bahwa tujuan utama pendidikan itu adalah mengamalkannya, dengan
maksud agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk
kehidupan di akhirat kelak. Imam Ghazali juga mengemukakan bahwa pendidikan
pada prosesnya haruslah mengacu kepada pendekatan diri kepada Allah dan
kesempurnaan insani. Oleh karena itu tujuan pendidikan menurut al-Ghazali
adalah “tercapainya kemampuan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada
Allah, dan kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat
Dan senada pula dengan pendapat Ahmad D.Marimba bahwa, “pendidikan adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.
Begitu juga pemikiran Hasyim Asy’ari mengenai niat orang orang yang menuntut
ilmu dan yang mengajarkan ilmu, yaitu hendaknya meluruskan niatnya lebih
dahulu, tidak meng-harapkan hal-hal duniawi semata, tapi harus niat ibadah untuk
mencari ridha Allah. Demikian juga dengan al Ghazali yang berpendapat bahwa
tujuan murid menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah dan mensucikan
batinnya serta memperindah dengan sifat-sifat yang utama. Dan janganlah
menjadikan ilmu sebagai alat untuk mengumpulkan harta kekayaan, atau untuk
mendapatkan kelezatan hidup dan lain sebagainya. Akan tetapi tujuan utama
adalah untuk kebahagiaan akhirat. Dan mengenai guru al-Ghazali lebih keras,
bahwa guru mengajar tidak boleh digaji. Mengenai etika seorang murid yang
dikemukakan Hasyim Asy’ari sejalan dengan pendapat al-Ghazali yang mengatakan
“hendaknya murid mendahulukan kesucian batin dan kerendahan budi dari
sifat-sifat tercela… seperti marah, hawa nafsu, dengki, busuk hati, takabur,
ujub dan sebagainya”.
3.
H.A. Mukti Ali
A.
Riwayat Hidup H.A. Mukti Ali
Nama
lengkapnya Prof Dr H Abdul Mukti Ali dilahirkan di kota Cepu, pada tanggal 23
Agustus 1923 dan Meninggal di kota Yogyakarta, pada tanggal 5 Mei 2004
(tepatnya berumur 81 thn) dengan meninggalkan seorang Istri bernama Siti
Asmadah dan tiga orang anak. Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali (lahir di Cepu, 23
Agustus 1923) adalah mantan Menteri Agama Kabinet Pembangunan
II periode 1973-1978. Sejak berumur
delapan tahun, Mukti menjalani pendidikan Belanda di HIS. Ketika berumur 17
tahun, ia melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Termas, Kediri, Jawa Timur. Mukti Ali kemudian melanjutkan
studi ke India setelah perang dunia ke dua. Ia menyelesaikan pendidikan Islam
di India dengan memperoleh gelar doktor sekitar tahun 1952. Setelah itu, ia
melanjutkan kembali studinya ke McGill University, Montreal, Kanada mengambil
gelar MA.
Semasa
hidupnya, Mukti Ali telah menulis beberapa buku seperti : Beberapa Persoalan
Agama Dewasa ini, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Muslim Bilali dan
Muslim Muhajir di Amerika, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad
Dahlan, Muhammad Iqbal, Ta'limul Muta'alim versi Imam Zarkasyi, Memahami
Beberapa Aspek Ajaran Islam, Asal Usul Agama, dan Alam Pikiran Islam Modern di
India dan Pakistan.
Abdul
Mukti Ali meninggal dunia dalam usia 81 tahun pada tanggal 5 Mei 2004, sekitar
pukul 17.30 di Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito, Yogyakarta. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga besar Institut Agama Islam
Negeri (IAIN)
Sunan Kalijaga di Desa Kadisoko, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman.
B.
Ide
Pemikiran H.A. Mukti Ali
1. Problematika kerukunan umat beragama
dapat dinilai sebagai transformasi religia intelektual dalam menemukan jawaban
atas pergulatan pribadi mengenai interaksi antar umat beragama di Indonesia.
Maka menurutnya betapa pentingnya mempelajari Ilmu Perbandingan Agama, dan muncullah
hal ini dalam kebijakan mentri agama tentang “Dialog Antar Umat Beragama”.
2. Peningkatan mutu pendidikan Agama,
diantaranya dengan mendirikan Lembaga Pendidikan Tilawatil Qur’an atau sering
disebut LPTQ baik di tingkat daerah maupun pusat.
3. Memperbaiki dan menertibkan prosedur
administrasi, organisasi, termasuk personil yang ada dalam Departemen Agama.
4. Membentuk wadah persatuan Ulama’
Indonesia dengan nama MUI
C.
Konsep
Pendidikan H.A. Mukti Ali
Secara
umum, Mukti Ali menyoroti masalah etika, akhlaq atau moral lebih pada
bagaimana ia dapat diakses dan diterapkan oleh golongan pelajar yang
terbagi dua yaitu, golongan intelektual atau cendekiawan dan kaum praxis.
Menurutnya kaum cendekiawan dengan kemampuan intelektualnya harus memiliki
nilai-nilai moral dalam setiap ranah intelektual pengetahuannya. Ide-ide,
konsep-konsepnya harus bias lebih mendorong mereka untuk perbaikan-perbaikan,
penyempurnaan-penyempurnaan dari sebuah keadaan yang sekarang dialami. Hal ini
bukan berarti keadaan sekarang tidak lebih baik, tetapi bagaimana kegelisahan
para cendekiawan tersebut dapat memberi sumbangan berarti terhadap keadaan
moral masyarakat ke arah yang lebih baik. Untuk itu, menurut Mukti Ali, salah
satu syarat seorang cendekiawan terutama cendekiawan muslim adalah bahwa ia
harus memiliki kecakapan untuk melahirkan pikiran-pikiran tentang moral dalam
kata-kata, baik lisan maupun tulisan.
Sedangkan
kepada golongan praxis, yang lebih dituntut adalah bagaimana ia dapat
menerapkan praktek moral dalam kehidupan sehari-hari, yang sangat berkaitan
dengan hal-hal yang kongkrit. Lebih jauh tugasnya adalah melakukan
tindakan-tindakan untuk mengatasi persoalan-persoalan empirik.
Sampai di
sini, menurut hemat penulis, sebenarnya perbedaan antara kaum intelektualis dan
kaum praxis ini hanyalah memiliki fungsi untuk memisahkan bidang garap
masing-masing kaum itu sendiri, tidak lebih pada bagaimana keduanya sama-sama
memiliki peran yang signifikan dalam proses kehidupan bermoral di masyarakat.
Atau lebih
jelasnya pemisahan itu untuk memberikan batasan-batasan peran masing-masing
dalam memberikan sumbangan manfaat ke dalam kehidupan berinteraksi sosial.
Untuk itu maka perbedaan tersebut mungkin lebih dikenal sebagai perbedaan
dialektis daripada perbedaan dikotomis.
Perbedaan
dialektis yang dimaksud adalah bahwa titik temu kedua terminology tersebut
adalah bahwa kaum intelektualis dengan kritik sosial dan ide-ide moralnya dapat
mampu menyumbangkan hal yang bermafaat dalam tataran praxis. Dan bahwa Kaum
praxis dengan sendirinya akan memberikan sumbangan berharga bagi
pengamatan-pengamatan yang dilakukan oleh kaum intelektualis.
Kemudian
keluar dari permasalahan tersebut, seperti pendapat para cendekiawan muslim
lainnya, Mukti Ali tidak menafikan akan adanya hubungan ‘organik’ antara
pendidikan agama dan moral. Bahwa sistem agama, yang berupa oerientasi nilai,
keyakinan, norma hukum, juga mempunyai saham yang tidak kecil dalam membentuk
watak dan tingkah laku seseorang.
Lebih jauh
menurutnya fungsi pokok agama adalah mengintegrasikan hidup. Bahwa agama
dengan nilai-nilai moralnya amat diperlukan dalam kehidupan manusia. Contoh
kecil dari hubungan agama dan moral ini dapat dilihat dari fenomena dewasa ini
tentang kekhawatiran masyarakat terhadap perubahan-perubahan sosial yang
merugikan akhlak atau moral di kalangan penduduk kota-kota besar. Dalam hal ini
nilai-nilai moral dalam agama dirasa penting untuk diterapkan.
Dalam
Islam, al-Qur’an misalnya menginginkan untuk menegakkan kehidupan masyarakat
yang egaliter, baik sosial,politik dan sebagainya yang ditegakkan pada
dasar-dasar etika. Hal tersebut dapat dilihat dari ayat-ayat yang menyiratkan
tentang “memakmurkan bumi” atau “menjauhi kerusakan di dunia”. Juga dapat
dilihat dari ayat tentang tugas manusia yang dinyatakan dengan amar ma’ruf dan
nahi mungkar. Sampai di sini semakin jelalah akan adanya hubungan yang tak
teroisakan antara nilai-nilai agama yang diinternalisakan kepada manusia dengan
pendidikan agama dengan pendidikan moral.
4.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas
A.
Riwayat Hidup Syed Muhammad Naquib
Al-Attas
Syed
Muhammad al Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin al Attas dilahirkan di kota Bogor pada tanggal 5
September 1931, Ia adik kandung dari Prof.
DR. Hussein Al-Attas, seorang ilmuwan dan pakar sosiologi di Univeritas
Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah AL-Attas,
sedangkan ibunya bernama Syarifah Raguan Al-Idrus, keturunan kerabat raja-raja
Sunda Sukapura, Jawa Barat. Ayahnya berasal dari Arab yang silsilahnya
merupakan keturunan ulama dan ahli tasawuf yangterkenal dari kalangan sayid.
Riwayat
pendidikan Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas (selanjutnya akan disebut
Al-Attas), sejak ia masih kecil berusia 5 tahun. Ketika ia berada di Johor
Baru, tinggal bersama dan di bawah didikan saudara ayahnya Encik Ahmad,
kemudian dengan Ibu Azizah hingga perang kedua meletus. Pada tahun 1936-1941,
ia belajar di Ngee Neng English Premary Schoool di Johor Baru. Pada
zaman Jepang ia kembali ke Jawa Barat selama 4 tahun. Ia belajar agama dan
bahasa Arab Di Madrasah Al-Urwatul Wutsqa di Sukabumi Jawa Barat Pada
tahun 1942-1945. Tahun 1946 ia kemabali lagi ke Johor Baru dan tinggal bersama
saudara ayahnya Engku Abdul Aziz (menteri besar Johor Kala itu), lalu dengan
Datuk Onn yang kemudian juga menjadi menteri besar Johor (ia merupakan ketua
umum UMNO pertama). Pada tahun 1946, Al-Attas melanjutkan pelajaran di Bukit
Zahrah School dan seterusnya di English College Johor Baru tahun 1946-1949.
Kemudian masuk tentara (1952-1955) hingga pangkat Letnan. Namun karena kurang
berminat akhirnya keluar dan melanjutkan kuliah di University Malaya tahun
1957-1959, lalu melanjutkan di Mc Gill University, Montreal, Kanada, dan
mendapat gelar M. A. Tidak lama kemudian melanjutkan lagi pada program
pascasarjana di University of London tahun 1963-1964 hingga mendapat gelar Ph.
D. In 1987.
Al-Attas
mendirikan sebuah institusi pendidikan tinggi bernama International Institute of Islamic Thought and
Civilization
(ISTAC) di Kuala
Lumpur. Melalui
institusi ini Al-Attas bersama sejumlah kolega dan mahasiswanya melakukan
kajian dan penelitian mengenai Pemikiran dan Peradaban Islam, serta memberikan
respons yang kritis terhadap Peradaban
Barat.
B.
Ide
Pemikiran Syed Muhammad Naquid Al-Attas
Al-Atas
menawarkan kepada kita hal-hal untuk memagari intervensi dan pengaruh pedidikan
barat yang tidak relevan dengan pendidikan agama Islam, antara lain:
1. Konsep Ta’dib – menurutnya
pendidikan lebih cocok menggunakan Ta’dib dari pada Tarbiyah karena pendidikan
dalam pengertian Islam meliputi gagasan pendidikan dan segala yang terlibat
dalam proses pendidikannya. Pendidikan secara bertahap ditanamkan kedalam
manusia yang mempunyai akal. Maka ta’dib merupakan suatu upaya peresapan dan
penanaman pada diri manusia dalam proses pendidikan sedangkan adab sendiri
merupakan suatu muatan atau kandungan yang mesti ditanamkan dalam pendidikan
Islam. Adab melibatkan disiplin pikiran dan jiwa menunjuk kebenaran dan melawan
yang salah. Sedangkan tarbiyah berarti menghasilkan, mengembangkan dari
kepribadian yang tersembunyi dan mengembangkan kepada segala sesuatu yang
bersifat fisik dan material.
2. Universalitas. Menurutnya konsep pendidikan dalam
Islam adalah berusaha mewujudkan manusia yang baik atau manusia universal yang
sesuai dengan fungsi diciptakannya manusia yakni sebagai hamba Alloh dan
kholifah dimuka bumi. Dan Bukan menciptakan Negara yang baik.
3. Universitas, dalam rangka mewujudkan insane
Kamil maka ciri system pendidikan mencerminkan aspek manusia itu sendiri, dan
bukan Negara. Universitas Islam yang dimaksud mampu mencerminkan pribadi Nabi
sebagai Rosul baik dalam hal ilmu maupun tindakan sehingga dapat menjadi
manusia itu sendiri beradab.
4. Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Suatu alternative agar pendidikan
yang dilakukan umat islam saat ini mampu memagari konsep-konsep barat yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan ditunjukkan mampu menjawaab persoalan
agama dan sekuler yang setidaknya mempersempit dikotomi keduanya.
5. Kurikulum. Kurikulum Ilmu Agama mutlak
diadakan pada seluruh tingkat pendidikan. Karena agama mampu membimbing dan
menyelamatkan manusia di dunia dan di akhirat.
C.
Konsep
Pendidikan Syed Muhammad Naquid Al-Attas
Apabila
ditelaah dengan cermat, format pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh
Al-Attas, tampak jelas bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam
sebagai suatu sistem pendidikan terpadu.
Hal
tersebut dapat dilihat dari tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan
pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan
pendidikan dalam Islam harus mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia
universal (Al-Insan Al-Kamil). Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang
bercirikan:
1. manusia yang seimbang, memiliki
keterpaduan dua dimensi kepribadian; a) dimensi isoterikvertikal yang intinya
tunduk dan patuh kepada Allah dan b) dimensi eksoterik, dialektikal,
horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya.
2. manusia seimbang dalam kualitas
pikir, zikir dan amalnya (achmadi, 1992: 130). Maka untuk menghasilkan manusia
seimbang bercirikan tersebut merupakan suatu keniscayaan adanya upaya maksimal
dalam mengkondisikan lebih dulu paradigma pendidikan yang terpadu.
Indikasi
lain yang mempertegas bahwa paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas
menghendaki terealisirnya sistem pendidikan terpadu ialah tertuang dalam
rumusan sistem pendidikan yang diformulasikannya, dimana tampak sangat jelas
upaya Al-Attas untuk mengintegrasikan ilmu dalam sistem pendidikan Islam,
artinya Islam harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya
tidak hanya ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional, intelek dan
filosofis.
Dari
deskripsi di atas, dapat dilacak bahwa secara makro orientasi pendidikan
Al-Attas adalah mengarah pada pendidikan yang bercorak moral religius yang
tetap menjaga prinsip keseimbangan dan keterepaduan sistem. Hal tersebut
terlihat dalam konsepsinya tentang Ta'dib (adab) yang menurutnya telah mencakup
konsep ilmu dan amal. Di situ dipaparkan bahwa setelah manusia dikenalkan akan
posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapakan dapat
mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan
ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi harus dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran
agama.
Hal itu
merupakan indikator bahwa pada dasarnya paradigma pendidikan yang ditawarkan
Al-Attas lebih mengacu kepada aspek moral-transendental (afektif)
meskipun juga tidak mengabaikan aspek kognitif (sensual–logis) dan
psikomotorik (sensual-empiris). Hal ini relevan dengan aspirasi
pendidikan Islami, yakni aspirasi yang bernafaskan moral dan agama. Karena
dalam taksonomi pendidikan Islami, dikenal adanya aspek transendental, yaitu
domain iman disamping tiga domain kognitif, afektif dan psikomotorik yang
dikembangkan B.S.Bloom dkk. (Muhaimin, 1991 : 1971: 72-73). Domain iman amat
diperlukan dalam pendidikan Islami, karena ajaran Islam tidak hanya menyangkut
hal-hal rasional, tetapi juga menyangkut hal-hal yang supra rasional, dimana
akal manusia tidak akan mampu menangkapnya, kecuali didasari dengan iman, yang
bersumber dari wahyu, yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadist. Domain iman merupakan
titik sentral yang hendak menentukan sikap dan nilai hidup peserta didik, dan
dengannya pula menentukan nilai yang dimiliki dan amal yang dilakukan.
BAB III
PENUTUP
Alhamdulillah
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Dimana makalah ini dapat membawa
pembaruan dalam bidang pembentukan lembaga pendidikan islam yang semua sistem
pesantren menjadi sistem klasikal, memasukkan pelajaran umum kepada madrasah.
meskipun demikian, para ulama tetap mendahulukan prndidikan moral atau ahlak,
pendidikan individu dan pendidikan kemasrakatan. Semoga kita sebagai penerus
risalah dapat melanjutkan perjuangannya / segala kiprah yang telah diwariskan
oleh para ulama. Karena ulama merupakan pewaris para nabi.
Baccarat | Poker, Roulette and More
BalasHapus› baccarat › หาเงินออนไลน์ baccarat 바카라 사이트 A wide selection of bets can be placed on both the casino floor and in the live game. With a live game you can choose between playing a single choegocasino card or Rating: 4.5 2 votes